Selasa, 11 November 2025 BBKSDA Jawa Timur
Magetan, 11 November 2025. Ketika kemarau mengeringkan pucuk-pucuk hijau di lereng Gunung Blego, kehidupan di Desa Cileng, Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan, berubah ritmenya. Dari kejauhan, suara ranting patah dan daun berderak sering kali menjadi pertanda kedatangan kawanan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang menuruni lereng hutan, menembus batas alami menuju kebun warga di bawahnya.
Setiap musim kering, pemandangan ini terulang. Satwa liar turun mencari sumber pakan baru, sementara para petani berusaha melindungi hasil tanamannya. Di batas antara hutan dan ladang inilah, manusia dan alam terus bernegosiasi dalam keheningan yang sama-sama rapuh.
Menindaklanjuti laporan masyarakat terkait gangguan satwa liar di lahan pertanian, Tim Resor Konservasi Wilayah 05 (RKW-05) Madiun Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim) bersama BPBD Kabupaten Magetan dan perangkat Desa Cileng melakukan pemeriksaan lapangan pada Selasa, 4 November 2025.
Lokasi pemeriksaan merupakan kebun masyarakat di kawasan perbukitan yang berbatasan langsung dengan hutan lindung Gunung Blego, berjarak sekitar dua kilometer dari kaki gunung. Saat kunjungan, tidak ditemukan keberadaan Monyet Ekor Panjang secara langsung, namun tanda-tanda aktivitas satwa liar tampak jelas: sisa buah pisang yang rusak, batang singkong patah, serta bekas pijakan di tanah lembap di beberapa petak kebun.
Gunung Blego membentang di perbatasan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan status kawasan hutan lindung. Lerengnya ditumbuhi dominan oleh vegetasi pinus, sementara di area yang lebih rendah, tepat di sekitar kebun masyarakat, tumbuh hutan jati dan tanaman campuran lain yang tumbuh di tanah milik warga.
Mosaik vegetasi ini menciptakan zona peralihan antara hutan dan lahan pertanian, tempat di mana satwa liar mudah berpindah dan menyesuaikan diri dengan aktivitas manusia. Dalam lanskap semacam ini, ketersediaan pakan alami di habitat hutan yang menurun selama musim kemarau menjadi faktor utama yang mendorong Monyet Ekor Panjang keluar menuju kebun jagung, singkong, dan pisang milik warga.
Berdasarkan informasi perangkat desa, jumlah kawanan Monyet Ekor Panjang yang aktif di sekitar kawasan tersebut diperkirakan mencapai sekitar 50 ekor, dengan intensitas kemunculan yang meningkat dibanding dua hingga tiga tahun sebelumnya. Peningkatan ini menunjukkan adanya tekanan ekologis dan adaptasi perilaku satwa liar terhadap perubahan lanskap di sekitarnya.
Sebagai kawasan hutan lindung, Gunung Blego memiliki peran penting menjaga fungsi hidrologis dan keanekaragaman hayati. Namun di sisi lain, keberadaan lahan milik warga yang berada di tepi kawasan menimbulkan interaksi langsung antara manusia dan satwa liar, yang kerap berujung pada gangguan pertanian.
Sebagai tindak lanjut, Tim RKW-05 memberikan rekomendasi agar masyarakat melakukan pemantauan mandiri di kebun rawan gangguan, serta segera melaporkan setiap kejadian serangan kepada BPBD Kabupaten Magetan atau BBKSDA Jawa Timur. Langkah pengusiran manual tanpa melukai satwa disarankan sebagai tindakan sementara, disertai pendokumentasian visual agar pola aktivitas satwa dapat dianalisis lebih lanjut.
Dalam jangka menengah, BBKSDA Jawa Timur akan mengkaji kemungkinan pelaksanaan survei populasi Monyet Ekor Panjang di kawasan Gunung Blego guna memperoleh data yang lebih akurat tentang jumlah individu, persebaran, dan pola pergerakannya. Hasil survei ini akan menjadi dasar dalam menyusun strategi mitigasi berbasis ekosistem serta edukasi masyarakat untuk mendorong pengelolaan lahan yang ramah satwa liar.
Pemerintah Desa Cileng bersama masyarakat menyampaikan harapan agar Monyet Ekor Panjang dapat direlokasi dari area kebun masyarakat, mengingat intensitas gangguan yang meningkat setiap tahun. Pihak desa juga menyatakan kesiapan membantu proses penanganan, termasuk menyediakan perlengkapan kandang jebak apabila diperlukan dalam upaya penangkapan dan relokasi yang sesuai prosedur konservasi.
Desa Cileng kini menjadi cerminan dari dinamika hidup di tepi hutan, wilayah di mana manusia dan satwa liar berjuang mempertahankan ruangnya masing-masing. Setiap musim kemarau, monyet-monyet kembali datang, menelusuri jalur yang sama dari lereng pinus ke ladang-ladang jagung. Bagi manusia, itu ancaman terhadap panen. Bagi satwa, itu kebutuhan untuk bertahan hidup.
Di tengah keseimbangan yang rapuh itu, konservasi hadir bukan sekadar untuk melindungi satwa, tetapi juga untuk menjaga keharmonisan antara kebutuhan manusia dan keseimbangan alam. Gunung Blego, dengan barisan pinus yang sunyi di punggungnya, menjadi saksi bisu dari upaya manusia memahami bahwa hidup berdampingan dengan alam memerlukan kesabaran, pengetahuan, dan kebijakan. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah 1 Madiun – Balai Besar KSDA Jawa Timur
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 0