Temuan Jamur ‘Janggut Kuda’ di Pulau Sempu Ungkap Peran Penting Pengurai Alami

Selasa, 07 Oktober 2025 BBKSDA Jawa Timur

Malang, 5 Oktober 2025. Kabut pagi turun perlahan di antara pepohonan besar di Cagar Alam Pulau Sempu, Kabupaten Malang (5/10/25). Embun menetes dari ujung daun, sementara seruan lutung Jawa (Trachypithecus auratus) dan Kijang (Muntiacus muntjak) menggema di kejauhan.

 

Di tengah suasana hening itu, tim survei lima taksa Balai Besar KSDA Jawa Timur melangkah menyusuri jalur basah di bawah kanopi, mencatat temuan vegetasi, satwa, dan tanda-tanda kehidupan lainnya. Namun, di sela dedaunan yang lapuk dan ranting berlumut, Tri Wahyu Widodo, Pengendali Ekosistem Hutan Mahir, menangkap sesuatu yang tak biasa. Di antara batang dan semak, terbentang serabut halus berwarna cokelat kehitaman, seperti tali kecil yang menjerat ranting dan daun kering.

 

“Awalnya saya kira itu jejak senar pemburu yang tertinggal di hutan, Tapi setelah saya perhatikan lebih dekat, teksturnya aneh. Ia bukan nilon, bukan juga sisa tali buatan manusia. Benangnya sangat halus, ringan, dan menyatu dengan permukaan daun,”  tutur Tri Wahyu.

 

Rasa ingin tahu itu mengingatkannya pada temuan serupa saat memasang camera trap di Sempu pada tahun 2022. Ketika itu, ia sempat berkonsultasi dengan peneliti mikologi dari BRIN, dan dari sanalah ia mengetahui bahwa struktur yang mirip jaring itu ternyata adalah jamur dari genus Marasmius, spesies Marasmius crinis-equi. Atau  jamur yang dikenal sebagai penyebab penyakit tanaman “Horse Hair Blight” atau Hawar Rambut Kuda.

 

Jamur Rambut Kuda: Penjaga dan Pengganggu Alam Tropis

Jamur Marasmius crinis-equi berasal dari famili Marasmiaceae, dikenal karena membentuk rhizomorf yaitu serabut jamur panjang menyerupai helaian rambut kuda yang lentur dan kuat. Dalam kondisi alami, jamur ini hidup sebagai pengurai (saprotrof), mengurai daun dan ranting lapuk menjadi nutrien penting bagi tanah hutan.

 

Namun, di bawah kondisi tertentu, terutama pada lingkungan yang sangat lembap, teduh, dan sirkulasi udaranya buruk, jamur ini dapat berubah fungsi menjadi patogen yang menyerang ranting hidup dan daun tanaman, menimbulkan penyakit Hawar Rambut Kuda.

 

“Kalau di hutan alami seperti Sempu, jamur ini sangat bermanfaat. Tapi di lahan pertanian atau tanaman budidaya, ia bisa berubah menjadi ancaman,” jelas Tri Wahyu.

 

“Di sini, ia bagian dari keseimbangan alam. Di tempat lain, ia bisa menjadi tanda gangguan ekosistem,” lanjutnya.

 

Pertanda Ekosistem yang Masih Sehat

Keberadaan Marasmius crinis-equi di hutan alami Pulau Sempu menjadi indikator ekologis penting. Jamur ini hanya tumbuh di area dengan mikroklimat stabil, kelembapan tinggi, lapisan serasah tebal, dan tanda bahwa sistem ekosistem masih berjalan baik tanpa gangguan besar.

 

“Kalau jamur seperti ini tumbuh subur, itu artinya lapisan serasah masih alami dan sistem dekomposisi masih aktif, hutan yang mati atau terlalu kering tidak akan menumbuhkan jamur semacam ini,” jelas Tri Wahyu.

 

Kepala Bidang Teknis Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nofi Sugiyanto, S.Hut., M.Ec.Dev., M.A., menambahkan bahwa survei lintas taksa seperti ini tidak hanya berfokus pada satwa besar, tetapi juga makhluk kecil yang menjadi fondasi ekosistem.

 

“Kita perlu melihat hutan sebagai satu kesatuan ekosistem kehidupan. Jamur, mikroba, dan serangga pengurai adalah bagian penting dari mesin ekologis. Temuan seperti ini memperkaya basis data biodiversitas kita dan membantu dalam pengelolaan konservasi berbasis ilmu pengetahuan,” ujar Nofi.

 

Fenomena Hawar Rambut Kuda

Dalam konteks pertanian tropis, Marasmius crinis-equi dikenal sebagai penyebab penyakit Horse Hair Blight, atau hawar rambut kuda. Penyakit ini biasanya menyerang tanaman berkayu seperti kopi, teh, dan karet.

 

Gejalanya berupa benang hitam menyerupai rambut kuda yang menggantung di ranting, disertai daun yang mengering dan gugur sebelum waktunya. Penyakit ini lebih sering muncul di perkebunan yang lembap, teduh, dan tidak memiliki ventilasi udara baik.

 

Namun, dalam hutan alami seperti Sempu, jamur ini justru berperan sebagai penjaga siklus hidup, mengurai yang mati untuk memberi makan yang hidup.

 

“Fenomena ini menunjukkan dua wajah dari satu makhluk. Di hutan, ia pembersih alami. Di lahan terganggu, ia bisa menjadi pengingat bahwa keseimbangan lingkungan telah bergeser,” kata Tri Wahyu.

 

Profil Jamur Hawar Rambut Kuda

- Nama ilmiah : Marasmius crinis-equi (Pers.) Fr.

- Famili : Marasmiaceae

- Nama umum : Horse-hair fungus / Jamur Janggut Kuda

- Penyakit terkait : Horse Hair Blight (Hawar Rambut Kuda)

- Habitat alami : Daun gugur, ranting lapuk, substrat lembap di hutan tropis

- Ciri kha s:    Rhizomorf halus hitam-coklat menyerupai rambut kuda

- Ukuran tubuh : Diameter topi ≤ 4 mm

- Peran ekologis : Pengurai bahan organik; dapat menjadi patogen pada kondisi lembap ekstrem

- Tanaman rentan : Kopi, teh, karet, dan pepohonan hias tropis

- Sebaran : Asia Tenggara, termasuk Indonesia

- Status di Pulau Sempu : Ditemukan di area lembap, indikator ekosistem sehat.

 

Serabut Hitam, Cermin Keseimbangan Alam

Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nur Patria Kurniawan, S.Hut., M.Sc., menyebut bahwa temuan lapangan seperti ini menunjukkan betapa luasnya cakupan konservasi, bukan hanya tentang menjaga satwa besar, tapi juga memahami proses kecil yang menopang kehidupan hutan. Konservasi bukan hanya tentang lutung, kijang atau elang. Tapi juga tentang jamur, lumut, dan mikroorganisme yang menjaga keseimbangan tanah dan udara.

 

“Mengetahui peran ganda jamur ini, pengurai sekaligus patogen, membuat kita lebih bijak dalam mengelola alam,” ujarnya.

 

Dari Helaian Jamur ke Pelajaran Ekologis

Di antara dedaunan lembap Pulau Sempu, Marasmius crinis-equi menenun jaring kehidupan yang tak terlihat mata. Serabut hitam yang dulu disangka tali pemburu itu ternyata adalah benang alami penopang siklus hutan tropis, pengurai yang menghidupkan kembali apa yang telah gugur.

 

 “Kadang, hal paling kecil justru menyimpan pelajaran terbesar,” ujar Tri Wahyu sambil menatap lebatnya hutan Sempu. 

 

Jaring itu bukan jebakan pemburu. Ia adalah bukti bahwa hutan masih bekerja, masih hidup, dan masih bernapas.

 

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 5

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini