Selasa, 23 September 2025 BBKSDA Jawa Timur
Jember, 19 September 2025. Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember, tengah diliputi keresahan. Selama hampir tiga minggu terakhir, ketenangan warga terguncang oleh serangkaian serangan dari seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Tercatat tujuh orang menjadi korban gigitan, mulai dari anak-anak hingga lansia. Luka di telapak kaki, betis yang hampir putus uratnya, hingga trauma mendalam, menjadi bukti nyata bahwa konflik antara manusia dan satwa liar ini telah sampai pada titik mengkhawatirkan.
Gigitan yang Menghantui
Korban pertama adalah seorang anak berusia sekitar tujuh tahun. Di depan rumahnya, tanpa peringatan, seekor monyet melompat dari belakang dan menggigit telapak kaki kanannya. Luka itu membawanya ke Puskesmas Jumerto, tempat ia dirawat.
Dua minggu masa pengamatan dilakukan, memastikan tidak ada indikasi rabies. Namun, teror tidak berhenti.
Seminggu kemudian, giliran seorang pria dewasa berusia 52 tahun yang menjadi sasaran. Betis kirinya digigit hingga hampir membuat uratnya putus.
Dari catatan lapangan, pola serangan ini berulang, korban diserang dari belakang, tanpa sempat menyadari bahaya yang mendekat. Hingga kini, tujuh korban tercatat, satu pria dewasa, dua wanita lansia, dan empat anak-anak.
Satwa Peliharaan yang Lepas?
Kejadian ini memunculkan dugaan kuat bahwa monyet tersebut bukanlah satwa liar murni dari hutan, melainkan individu peliharaan yang lepas atau sengaja dilepaskan. Hal ini terlihat dari keberaniannya mendekati manusia, bahkan menyerang tanpa rasa takut. Jika benar, fenomena ini menjadi cerminan nyata dari bahaya memelihara satwa liar: konflik, penyakit, hingga kerugian sosial.
Respon Cepat dan Tantangan di Lapangan
Menanggapi keresahan masyarakat, Balai Besar KSDA Jawa Timur segera berkoordinasi dengan perangkat desa, Muspika Kecamatan Sukorambi, serta aparat Polsek setempat. Edukasi diberikan kepada warga mengenai perlindungan satwa liar dan larangan untuk memberi makan monyet liar yang justru memancing kedatangan satwa ke pemukiman.
Dalam keterangannya, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nur Patria Kurniawan, S.Hut., M.Sc., menegaskan pentingnya edukasi dan pengelolaan satwa secara tepat.
“Kami mengingatkan masyarakat untuk tidak memelihara satwa liar. Jika satwa sudah terlanjur dipelihara, jangan sekali-kali melepasliarkannya sembarangan, karena satwa yang terbiasa dengan manusia berpotensi menimbulkan konflik dan membahayakan keselamatan. Selain itu, jangan memberikan makanan kepada satwa liar, karena kebiasaan ini bisa membuat mereka terhabituasi, menunggu makanan, bahkan menyerang orang yang membawa makanan ketika lapar,” tegasnya.
Tim juga melakukan kunjungan kepada para korban, sekaligus memastikan kondisi kesehatan mereka. Upaya penanganan interaksi negatif bahkan sampai pada langkah represif untuk melumpuhkan satwa, namun monyet yang lincah dan terus berpindah membuat usaha ini belum berhasil.
Antara Konservasi dan Keselamatan Manusia
Kasus di Jember ini menunjukkan betapa rapuhnya batas antara habitat satwa liar dan pemukiman manusia. Ketika manusia semakin dekat dengan alam atau ketika satwa liar kehilangan tempat alaminya, konflik tak terelakkan.
Macaca fascicularis, meski bukan satwa yang dilindungi di Indonesia, tetaplah bagian penting ekosistem. Namun dalam situasi seperti ini, keselamatan warga harus menjadi prioritas. Harapan terbesar kini adalah tersedianya sarana prasarana evakuasi yang memadai, untuk penanganan konflik satwa liar, agar insiden serupa dapat ditangani dengan cepat, aman, dan manusiawi.
Konflik manusia dengan satwa liar bukan hanya soal keselamatan. Ia juga menjadi cermin bagaimana kita hidup berdampingan dengan alam. Ketika satwa kehilangan ruang hidupnya, manusia pun kehilangan rasa aman. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah 3 Jember – Balai Besar KSDA Jawa Timur
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5