Menjaga Martabat Sang Penjaga Hutan, Peragaan Gajah Tunggang Resmi Dihentikan

Jumat, 19 Desember 2025 BBKSDA Jawa Timur

Sidoarjo, 19 Desember 2025. Gajah bukan sekadar satwa karismatik yang memikat perhatian publik. Di balik tubuh besarnya, gajah memikul peran ekologis penting sebagai penjaga keseimbangan hutan, membuka jalur alami, menyebarkan biji, dan menjaga dinamika vegetasi.

 

Namun, di tengah perannya yang vital bagi ekosistem, gajah Indonesia justru menghadapi tekanan serius akibat perubahan habitat dan praktik pengelolaan yang tidak selaras dengan prinsip kesejahteraan satwa.

 

Menjawab tantangan tersebut, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan secara resmi menerbitkan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2025 tentang Penghentian Peragaan Gajah Tunggang di Lembaga Konservasi. Surat edaran ini ditetapkan dan ditandatangani di Jakarta pada 18 Desember 2025, sekaligus menandai langkah tegas pemerintah dalam memperkuat etika pengelolaan satwa liar di Indonesia .

 

Sejalan dengan penetapannya, kebijakan tersebut langsung disosialisasikan kepada seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup KSDAE, lembaga konservasi di seluruh Indonesia, serta para pemangku kepentingan terkait. Langkah ini bertujuan memastikan kesamaan pemahaman dan implementasi kebijakan secara serentak, sehingga prinsip perlindungan dan kesejahteraan satwa dapat diterapkan secara konsisten di lapangan.

 

Dalam surat edaran tersebut ditegaskan bahwa praktik peragaan gajah tunggang, baik untuk kepentingan komersial maupun non-komersial, tidak lagi sejalan dengan prinsip perlindungan, etika, dan kesejahteraan satwa (animal welfare). Terlebih, gajah (Elephas maximus) merupakan satwa dilindungi yang berdasarkan Daftar Merah IUCN berstatus sangat terancam punah (critically endangered), sehingga setiap bentuk pemanfaatannya harus dilakukan secara sangat hati-hati dan bertanggung jawab.

 

Penghentian peragaan gajah tunggang bukan berarti menghilangkan fungsi edukasi lembaga konservasi. Sebaliknya, kebijakan ini mendorong transformasi pengelolaan menuju pendekatan yang lebih beradab dan berorientasi konservasi, seperti edukasi perilaku alami gajah, interpretasi konservasi, serta pengamatan satwa tanpa kontak fisik langsung.

 

Pendekatan ini diharapkan mampu membangun kesadaran publik bahwa konservasi bukan soal hiburan, melainkan tentang penghormatan terhadap kehidupan.

 

Surat edaran ini juga menegaskan adanya pengawasan oleh instansi berwenang serta penerapan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi lembaga konservasi yang tidak mematuhi kebijakan tersebut. Penegasan ini menunjukkan bahwa perlindungan satwa liar tidak berhenti pada tataran moral, tetapi juga ditegakkan melalui instrumen hukum.

 

Bagi Balai Besar KSDA Jawa Timur, kebijakan ini menjadi bagian dari komitmen berkelanjutan dalam mendorong pengelolaan konservasi yang berlandaskan ilmu pengetahuan, etika, dan tanggung jawab antar generasi. Menjaga martabat gajah berarti menjaga masa depan hutan, sumber air, dan kehidupan yang bergantung padanya.

 

Konservasi, pada akhirnya, bukan tentang seberapa dekat manusia dengan satwa liar, melainkan tentang seberapa bijak manusia memberi ruang agar satwa tetap hidup sesuai kodrat alaminya, bebas, bermartabat, dan lestari.

 

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji – PEH Ahli Muda Balai Besar KSDA Jawa Timur

 

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 5

Komentar

Belum terdapat komentar pada berita ini