Ramuan Hidup Dari Pengetahuan Yang Bertahan Di Bawean

Senin, 29 September 2025 BBKSDA Jawa Timur

Gresik, 29 September 2025. Di tengah biru Laut Jawa, sekitar 150 kilometer dari daratan Gresik, disitulah Pulau Bawean, sebuah pulau kecil yang menyimpan harta tak ternilai. Bukan emas, bukan pula batu mulia, melainkan pengetahuan kuno tentang tumbuhan obat yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat setempat. Pengetahuan ini, yang disebut etnofarmakologi, kini terancam perlahan hilang ditelan arus modernisasi.

 

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim) pada 21–28 September 2025 melaksanakan inventarisasi pengetahuan tradisional (traditional knowledge) di kawasan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Pulau Bawean. Kegiatan ini menyusuri desa-desa di dua kecamatan, Sangkapura dan Tambak, dengan dua kelompok responden utama: HATTRA (penyehat tradisional) dan masyarakat umum. Tujuannya jelas yaitu untuk mendokumentasikan pengetahuan lokal tentang pemanfaatan tumbuhan obat, sekaligus membuka jalan bagi riset bioprospeksi yang berpotensi besar di masa depan

 

Obat yang Lahir dari Hutan dan Doa

Dalam perjalanan, tim menemukan bahwa ramuan tradisional di Bawean bukan sekadar kumpulan tanaman yang ditumbuk, direbus, atau diseduh. Ada nilai spiritual yang menyertainya. Para HATTRA selalu membuka pengobatan dengan doa dan sholawat, menegaskan keyakinan bahwa kesembuhan berasal dari Tuhan, sedangkan ramuan hanyalah perantara.

 

Dari enam HATTRA yang diwawancarai, tercatat puluhan ramuan tradisional: dari obat penurun panas untuk anak-anak, ramuan kejang, penambah stamina, hingga penawar racun gigitan ular. Ada pula ramuan yang diyakini mampu membantu kesuburan, mengatasi kanker, atau menguatkan daya tahan tubuh.

 

Setiap ramuan memiliki kisah. Daun semot-semotan (Dentella repens) yang ditumbuk bersama kunyit dan adas dipakai sebagai obat demam anak. Rimpang temu ireng, temu lawak, dan temu konceh dikeringkan lalu direbus sebagai jamu untuk kesehatan lambung. Bahkan kulit kayu paek yang pahit diyakini mampu mengatasi penyakit dalam.

 

Menyelamatkan Pengetahuan Yang Terancam Punah

Kemajuan teknologi dan layanan kesehatan modern membuat masyarakat, terutama generasi muda, mulai melupakan kearifan lokal. Banyak ramuan hanya dikenal oleh segelintir orang tua atau HATTRA. Jika pengetahuan ini tidak segera didokumentasikan, maka ia akan hilang bersama generasi terakhir yang menguasainya.

 

“Kami tidak hanya menemukan daftar tumbuhan, tetapi juga menemukan potongan identitas budaya yang masih hidup di tengah masyarakat Bawean,” ujar Khoirul Rozikin Pengendali Ekosistem Hutan Muda yang memimpin ekspedisi tersebut.

 

Bagi BBKSDA Jatim, inventarisasi ini bukan sekadar penelitian, melainkan langkah strategis untuk menjaga kedaulatan hayati bangsa. Data yang terkumpul akan menjadi fondasi bagi pengembangan bioprospeksi, yakni riset untuk menemukan potensi baru dari keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan dalam industri farmasi, kesehatan, hingga pengembangan obat-obatan berbasis alam.

 

Pulau Bawean bukan hanya kaya akan pengetahuan tradisional, tetapi juga rumah bagi satwa endemik yang hanya ada di pulau ini, seperti Rusa Bawean (Axis kuhlii) yang statusnya terancam punah. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai suaka margasatwa sejak 1979, bukan hanya untuk melindungi satwanya, tetapi juga seluruh ekosistem hutan hujan tropis yang menjadi penopang kehidupan masyarakat.

 

Bagi penduduk setempat, hutan bukan sekadar bentang alam, melainkan apotek hidup raksasa. Setiap pohon, akar, daun, dan bunga memiliki makna. Dan di sanalah hubungan manusia dengan alam terjalin dalam harmoni, sebuah pengetahuan yang lahir dari pengalaman panjang berabad-abad.

 

Menjaga Warisan, Menjaga Kehidupan

Melalui kegiatan ini, BBKSDA Jatim menegaskan komitmen bahwa konservasi bukan hanya tentang menjaga pohon dan satwa, melainkan juga melestarikan pengetahuan manusia yang tumbuh bersama alam.

 

“Menjaga hutan berarti menjaga kehidupan; dan menjaga pengetahuan berarti menjaga jati diri bangsa,” tegas Nur Patria Kurniawan, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur.

 

Kini, tantangan berikutnya adalah bagaimana masyarakat luas bisa ikut menjaga warisan ini. Pengetahuan kuno dari Bawean bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan kunci masa depan, bagi kesehatan, budaya, dan kedaulatan bangsa.

 

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur

Berikan rating untuk artikel ini

Average Rating: 5

Komentar

Login terlebih dahulu bila ingin memberikan komentar.

Login

Belum terdapat komentar pada berita ini