Jumat, 29 Agustus 2025 BBKSDA Sumatera Utara
Sumber: Sumatran Orangutan Conservation Programme
Medan, 29 Agustus 2025. Di tengah hutan hujan tropis Batang Toru yang semakin menyusut, tersimpan cerita paling menyedihkan dalam sejarah konservasi Indonesia. Hanya 500-760, angka ini bukan kode rahasia atau nomor undian berhadiah. Ini adalah jumlah Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang masih bertahan hidup di dunia, menjadikan mereka sebagai kera besar paling langka dan terancam dunia. Data ini tercatat dalam dokumen resmi yang digunakan pemerintah, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) orangutan 2019-2029.
Pada November 2017, Alexander Nater, tim peneliti internasional dari Universitas Zurich mengumumkan penemuan spesies kera besar baru. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia secara resmi mengumumkannya melalui siaran pers SP. 330/HUMAS/PP/HMS.3/11/2017 pada 3 November 2017, bersamaan dengan publikasi di jurnal internasional Current Biology. Penemuan ini langsung menempatkan posisi Orangutan Tapanuli sebagai kera besar paling langka di dunia dan menggaet status Critically Endangered dari IUCN Red List. Mereka adalah spesies termuda yang ditemukan dunia sains pada 2017, namun sekaligus yang paling terancam punah.
Menariknya, berdasarkan pernyataan dari peneliti Orangutan Tapanuli, Colin Groves, Profesor Bioantropologi bersama Anton Nurcahyo dari Australian National University, keberadaan orangutan di Batang Toru sudah dilaporkan sejak 1939 oleh para peneliti. Namun, baru benar-benar ditemukan pada 1997 dan dikonfirmasi keberadaannya pada 2003.
Secara genetik, Orangutan Tapanuli lebih dekat dengan Orangutan Kalimantan dibandingkan Orangutan Sumatera, baik dari ciri fisik berupa bulu yang lebih tebal dan keriting, tengkorak, tulang rahang yang lebih halus, hingga panggilan jarak jauh jantan yang lebih khas. Namun dibalik keunikan biologis ini, tersembunyi krisis konservasi yang kompleks. Berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Orangutan Indonesia 2019-2029, populasi Orangutan Tapanuli berkisar antara 577-760 individu yang kemudian dibagi oleh Wich dan tim peneliti lainnya ke dalam tiga kelompok: Blok Barat (581 individu), Blok Timur (162 individu), dan Cagar Alam Sibual-Buali (24 individu) dalam habitat seluas 1.051,32 kilometer persegi.
Hutan Batang Toru menjadi satu-satunya habitat Orangutan Tapanuli di dunia, terdiri dari hutan pegunungan rendah, hutan gambut, hutan batu kapur dan rawa. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa sekitar 85% ekosistem Batang Toru berstatus hutan lindung atau cagar alam.
Ironi terbesar terletak pada distribusi populasi berdasarkan fungsi kawasan. Faktanya hanya 7% orangutan hidup di kawasan Cagar Alam yang dikelola Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara. Mayoritas 64% berada di hutan lindung, 4% di hutan produksi yang dikelola Kesatuan Pengelolaan Hutan X Padangsidempuan dan KPH XI Pandan, dan yang paling mengkhawatirkan 25% hidup di Areal Penggunaan Lain yang dikelola pemerintah dan masyarakat tanpa perlindungan khusus.
Krisis ini diperparah oleh interaksi manusia-orangutan yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama ketika musim buah seperti durian, petai, jengkol, aren, rotan atau jernang, dan pisang. Seekor orangutan dapat mengonsumsi 20-30 buah durian per-hari, menimbulkan konflik dengan masyarakat yang merasa dirugikan. Di sisi lain, World Wide Fund for Nature juga mencatat adanya ancaman perburuan, perdagangan ilegal, deforestasi kelapa sawit, hingga proyek-proyek raksasa yang terus menggerogoti populasi Orangutan Tapanuli yang sudah semakin menipis.
Orangutan adalah salah satu target mudah bagi pemburu karena ukurannya yang besar dan gerakannya yang lambat. Berbagai alasan mendasari perburuan ini, mulai dari pembalasan karena masuk ke area pertanian dan merusak tanaman, tetapi mereka juga dibunuh untuk makanan. Orangutan betina menjadi target yang paling sering diburu, khususnya ketika tertangkap bersama anaknya, yang biasanya akan dijadikan hewan peliharaan. Dengan tingkat reproduksi orangutan yang sangat rendah membuat populasi mereka sangat rentan. Orangutan betina melahirkan satu bayi setiap 3-5 tahun, sehingga butuh waktu lama bagi spesies ini untuk pulih dari penurunan populasi.
Melihat bahwa habitat yang tersisa bahkan lebih kecil dari sepersepuluh luas Sydney (Australia), para ilmuwan memperingatkan dengan tegas bahwa jika tidak ada langkah-langkah yang diambil dengan cepat untuk mengurangi ancaman saat ini dan masa depan, maka kita mungkin akan melihat penemuan kepunahan spesies kera besar dalam masa hidup kita. Orangutan Tapanuli bukan hanya spesies baru dalam dunia sains, tetapi juga menjadi tantangan bagi komitmen Indonesia dan dunia terhadap konservasi keanekaragaman hayati.
Sumber : Sharfina Shaheeba, Mahasiswa PKL Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Sumatera Utara (USU) – Balai Besar KSDA Sumatera Utara
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5