Senin, 25 Agustus 2025 BBKSDA Sumatera Utara
Medan, 25 Agustus 2025. Menarik membaca penggalan tulisan dari Riezcy Cecilia Dewi, Juru Kampanye Satya Bumi (Opini : Orangutan Tapanuli di Ambang Kepunahan, Mongabay.co.id, 19 Agustus 2025) “Kita hidup di zaman ketika punahnya satu spesies bukan lagi karena bencana alam, tetapi oleh ambisi dan kelalaian manusia. Orangutan Tapanuli, kera besar yang hanya hidup di satu titik kecil di dunia, di Sumatera Utara, Indonesia, kini berdiri di tepi jurang kepunahan. Pertanyaannya bukan lagi “siapa yang harus diselamatkan ?” tetapi “mengapa kita terus menciptakan kehilangan?”.
Pesan ini, tentunya menjadi bahan refleksi dalam menyikapi perkembangan penyelamatan dan pelestarian satwa liar dilindungi, khususnya orangutan yang merupakan salah satu spesies kunci, yang memainkan peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Hilangnya satu spesies kunci dapat memicu efek berantai berupa terganggunya struktur komunitas, menurunkan keanekaragaman hayati, bahkan memicu keruntuhan ekosistem secara keseluruhan. Fenomena ini dikenal juga sebagai trophic cascade.
Pesan ini pun menjadi krusial ketika seluruh dunia sedang merayakan Hari Orangutan Sedunia (World Orangutan Day) yang diperingati setiap tanggal 19 Agustus. World Orangutan Day (WOD) atau disebut pula International Orangutan Day (IOD), diperingati untuk mendorong masyarakat melestarikan salah satu spesies luar biasa yaitu orangutan. Orangutan adalah salah satu primata atau satwa yang terancam punah keberadaannya. Tahun ini, tema Hari Orangutan Sedunia adalah “Love for Orangutan, Kawal Jangan Dijual” (Mengapa Kita Penting Merayakan Hari Orangutan Sedunia ? www.kompasiana.com, 15 Agustus 2025).
Lazimnya, di setiap tahun manakala masyarakat internasional memperingati dan merayakan WOD, selalu disosialisasikan tentang kehidupan, karakteristik dan perilaku Orangutan. Menjadi hal yang sering didengar bahwa Orangutan merupakan hewan soliter, yang tidak mempunyai banyak teman sejenis untuk mencari makanan, membuat rumah, dan kelangsungan hidup yang lain. Di alam liar, orangutan bisa hidup dengan ibunya kurang lebih 8 tahun, bahkan lebih. Induk orangutan mengajarkan anaknya hidup di hutan sebelum dapat hidup sendiri. Induk orangutan umumnya akan melahirkan setiap 8 tahun sekali, sehingga sepanjang hidupnya seekor induk Orangutan biasanya hanya melahirkan 4 hingga 5 bayi. Alasan inilah kenapa populasi orangutan berkembang sangat lambat (Sejarah Hari Orangutan Sedunia dan Fakta Menariknya, m.kumparan.com, 19 Agustus 2023)
Kemudian, acap kali juga didengar retorika bahwa ancaman terbesar kehidupan orangutan adalah kehilangan habitat akibat deforestasi massif. Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit, pertambangan, dan kegiatan illegal lainnya telah menyusutkan rumah mereka. Konflik antara manusia dan orangutan, hingga perdagangan satwa liar ilegal, yaitu anak orangutan diambil dari induknya yang dibunuh, masih terjadi (Melindungi Sang “Arsitek Hutan” di Hari Orangutan Sedunia, Christopel Paino, Mongabay.co.id, 19 Agustus 2025)
Memang, kondisi pelestarian orangutan saat ini belum se-ideal yang diekspektasikan oleh banyak pihak. Namun bukan berarti tidak ada upaya-upaya yang dilakukan. Menyelesaikan permasalahan yang kompleks tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan, banyak tantangan yang harus dihadapi, sehingga butuh waktu, pengorbanan dan perjuangan yang gigih. Meskipun silent (senyap) dan jauh dari publikasi, gerakan konservasi orangutan sejatinya tetap terus bergerak. Kolaborasi beberapa pihak untuk memantau dan menyelamatkan orangutan baik melalui perdagangan maupun pemilikan/pemeliharaan secara illegal sampai saat ini masih terus bekerja.
Belum lagi berbagai upaya penyelamatan melalui pusat karantina, yang ditujukan untuk merawat dan merehabilitasi orangutan korban perdagangan maupun interaksi negatif dengan warga, sampai kepada melepasliarkannya kembali ke habitat alami, ini tetap menjadi fokus perhatian pemerintah melalui Kementerian Kehutanan bersama dengan lembaga-lembaga mitra yang konsern untuk merealisasikannya. Giat ini dilakukan guna memastikan bahwa satwa spesies payung (umbrella spesies) ini dapat hidup dan berkembangbiak secara alami di “rumahnya”.
Kampanye yang tiada henti untuk mengedukasi masyarakat lintas generasi dan profesi, menjadi rutinitas. Berbagai cara, media dan model pun dikemas agar pesan-pesan penyelamatan semenarik mungkin dan mudah dipahami. Harapannya tentu bukan hanya masyarakat teredukasi, lebih lagi tumbuh kesadaran (awareness) yang massif untuk peduli dan ikut mengambil bagian dalam upaya pelestarian
Harus diakui bahwa tiga spesies orangutan ; Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di Borneo, Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) di Sumatera Utara, menjadi fokus perhatian masyarakat dunia. Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) pun menempatkan ketiganya pada status kritis (Critically Endangered). Semua ini tentunya menjadi tantangan sekaligus “vitamin” yang memberi energi positif untuk terus bergerak melakukan yang terbaik bagi upaya penyelamatan orangutan.
Peringatan WOD bukan sekedar perayaan yang tidak bermakna, sebaliknya menjadi momentum pengingat dan penggalangan partisipasi untuk bergerak dinamis dan berjuang bersama secara massal dan konsisten. Bila semua sudah terbangun kesadarannya, bukan mustahil Orangutan akan lestari dan sejahtera, hidup berdamai dengan manusia. Ini bukan ilusi, tapi ambisi yang harus diwujudkan. Ayo, Selamatkan Orangutan, Ojo kendor ….
Sumber : Evansus Renandi Manalu (Penelaah Teknis Kebijakan) – Balai Besar KSDA Sumatera Utara
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5