Jumat, 25 Juli 2025 BBKSDA Jawa Timur
Sidoarjo, 24 Juli 2025. Dari benang-benang leluhur hingga hutan-hutan yang dijaga dengan sepenuh jiwa, kebaya bukan sekadar kain. Ia adalah jati diri, semangat, dan simbol kehormatan perempuan penjaga alam.
Di antara desir angin rimba dan senyapnya pepohonan yang menjulang, berdiri para perempuan penjaga hutan. Mereka bukan hanya mengenakan seragam, tetapi juga mewarisi semangat leluhur yang terpatri dalam sehelai kebaya.
Pada 4 Desember 2024, kebaya resmi diakui sebagai Warisan Budaya Tak benda oleh UNESCO, melalui pengajuan bersama lima negara lainnya, Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Penetapan ini diumumkan dalam sesi ke-19 Komite Antar Pemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak benda (WBTb) di Asunción, Paraguay. Ini menjadi tonggak sejarah, mengukuhkan kebaya sebagai simbol persatuan, keanggunan, dan kekuatan perempuan Asia Tenggara.
Di Indonesia, pengakuan ini tak hanya bermakna budaya, tetapi juga menjadi dorongan moral bagi mereka yang mengabdi pada bumi, terutama para perempuan di garda depan konservasi.
Di jajaran Balai Besar KSDA Jawa Timur, kebaya bukan sekadar pakaian seremonial. Ia telah menjadi simbol identitas rimbawan perempuan, penanda bahwa nilai-nilai luhur tradisi dapat berjalan berdampingan dengan misi pelestarian alam.
“Kami ingin tunjukkan bahwa perempuan bisa hadir elegan dalam balutan budaya, sambil tetap tegas menjaga rimba. Kebaya adalah kekuatan lembut, seperti alam yang kita rawat,” ungkap Luvi Andari, Pengendali Ekosistem Hutan sekaligus Ketua Dharma Wanita Persatuan BBKSDA Jatim.
Lebih dari itu, batik dan kebaya juga menghidupkan kembali keterhubungan antara budaya dan keanekaragaman hayati. Banyak motif batik tradisional yang menghiasi kebaya terinspirasi dari satwa dan tumbuhan endemik Nusantara, seperti motif merak hijau, kupu-kupu, daun aren, dan bambu menjadi simbol alam yang diwariskan dari generasi ke generasi.
“Pengakuan UNESCO atas kebaya bukan hanya kemenangan budaya, tetapi juga inspirasi bagi dunia konservasi. Di Balai Besar KSDA Jawa Timur, kami meyakini bahwa menjaga hutan dan merawat warisan budaya adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kebaya menjadi pengingat bahwa kelembutan dan keteguhan dapat bersatu untuk melindungi kehidupan.” terang Nur Patria Kurniawan, S.Hut., M.Sc., Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur.
Dalam setiap langkah yang diayun di tengah belantara, kebaya mengiringi dengan diam. Bukan untuk pamer gaya, tetapi sebagai lambang penghormatan pada leluhur dan bumi tempat kita berpijak. Di pundak perempuan rimbawan yang mengenakan kebaya, tersimpan kekuatan sunyi yang menjaga jejak-jejak kehidupan dari padang mangrove hingga puncak Argopuro.
Sumber: Fajar Dwi Nur Aji - Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda Balai Besar KSDA Jawa Timur
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 5