Rabu, 02 Juli 2025 BBKSDA Jawa Timur
Jember, 1 Juli 2025. Di selatan Pulau Jawa, berdiri kokoh sebuah pulau kecil yang terpisah oleh ombak dan waktu, Nusa Barung, suaka margasatwa yang nyaris tak tersentuh. Aksesnya terbatas, jalurnya liar, dan medan yang penuh tantangan membuatnya lebih mirip benteng alami yang melindungi rahasia hayati purba. Di sinilah, untuk pertama kalinya, sebuah ekspedisi ilmiah khusus anggrek dilakukan.
“Hutan yang jarang dikunjungi adalah perpustakaan kehidupan yang belum terbaca. Di Pulau Nusa Barung, setiap akar, daun, dan kelopak adalah bagian dari puisi yang hampir terlupakan.”
Selama dua pekan pada Juli 2024, tim gabungan yang terdiri dari para peneliti BRIN, Pengendali ekosistem hutan BBKSDA Jawa Timur, dan mitra komunitas konservasi dari Yayasan Pakarti, menjelajahi tujuh jalur transek sepanjang total 12 kilometer, mulai dari hutan pantai dan mangrove di Teluk Jeruk hingga tebing karst yang terjal di Kandangan. Mereka menembus semak, mendaki lereng curam, menyisir akar dan tajuk pohon dengan teropong, mencari jejak bunga yang bisa membuka tabir keanekaragaman anggrek liar di pulau ini. Dan hasilnya mencengangkan.
17 Jenis Anggrek Ditemukan, 80% Belum Pernah Tercatat Sebelumnya
Sebelum studi ini, hanya lima jenis anggrek yang tercatat tumbuh di Nusa Barung. Namun, dari ekspedisi ini berhasil didokumentasikan 17 spesies dari 13 genusanggrek, dan lebih dari 80% di antaranya adalah catatan baru untuk pulau ini.
Spesies epifit mendominasi, bergelayut di batang-batang pohon tinggi yang menjulang lebih dari 20 meter. Di antara mereka, Vanda limbata, salah satu ikon anggrek Indonesia, muncul paling mencolok. Ditemukan tumbuh melimpah di tebing-tebing karst Teluk Jeruk dan sebagai epifit di pohon Syzygium sp di Teluk Kandangan. Bunganya, dengan warna ungu kemerahan dan tekstur tegas, seperti memberi penanda bahwa alam liar masih hidup dan mekar di luar jangkauan manusia.
Tak hanya anggrek epifit, tim juga menemukan tiga spesies anggrek tanah Eulophiapicta, Nervilia plicata, dan Nervilia simplex, yang tumbuh di pasir pantai di bawah naungan pohon Hibiscus tiliaceus. Umumnya, anggrek tanah lebih rentan karena pertumbuhannya sangat bergantung pada keseimbangan kelembaban dan perlindungan vegetatif.
Namun tidak semua indah. Beberapa individu anggrek seperti Cymbidium sp. dan Dendrobium crumenatum ditemukan dalam kondisi nyaris mati, mengindikasikan tekanan ekologi seperti kekeringan, hilangnya penyerbuk alami, atau potensi gangguan habitat dari luar.
Ekspedisi Musim Kemarau, Identifikasi Terbatas, Tantangan Tak Terelakkan
Dilakukan pada puncak musim kemarau, ekspedisi ini menghadapi kendala besar. Banyak anggrek tidak sedang berbunga. Tanpa bunga, identifikasi spesies menjadi lebih sulit. Beberapa spesimen hanya bisa diidentifikasi sampai tingkat genus melalui ciri vegetatif seperti umbi, daun, atau akar.
Kendala lainnya adalah akses pengamatan. Banyak anggrek epifit tumbuh di tajuk tinggi dan hanya bisa diamati dengan bantuan teropong dan kamera tele. Tim tidak sempat membuat plot permanen atau melakukan survei kuantitatif populasi, tetapi setiap individu tetap dihitung dan didokumentasikan.
Meskipun begitu, ekspedisi ini menandai sebuah tonggak penting dalam Konservasi floristik Indonesia. Studi ini tidak hanya menambah daftar spesies anggrek Indonesia, tetapi juga memberikan dasar ilmiah penting bagi pengelolaan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi pulau kecil seperti Nusa Barung.
Dari Isolasi Jadi Keunikan Ekologis
Keunikan anggrek Nusa Barung tak lepas dari statusnya sebagai pulau terpencil yang dahulu terhubung dengan daratan utama Jawa. Proses isolasi geografis akibat naiknya permukaan laut, ditambah keterbatasan dispersi propagul, membentuk komunitas flora yang khas. Beberapa spesies yang ditemukan juga tercatat tumbuh di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan Taman Nasional Meru Betiri, menunjukkan konektivitas ekosistem masa lampau yang kini menjadi bukti hidup tentang sejarah biogeografi pulau ini.
Langkah Awal, Konservasi dan Harapan
Pulau ini mungkin sunyi dan tersembunyi, tapi flora yang hidup di dalamnya adalah suara dari alam liar yang masih setia menjaga keseimbangan bumi. Penelitian ini adalah awal. Masih banyak sudut pulau yang belum dijelajahi. Masih banyak anggrek yang belum berbunga.
Lebih dari sekadar data, ekspedisi ini adalah seruan bahwa bahkan di tempat paling sunyi sekalipun, kehidupan sedang berjuang untuk tetap mekar. Penelitian ini didukung oleh BRIN dan LPDP Kementerian Keuangan RI melalui skema Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM) 2023. Izin penelitian dan pengambilan sampel difasilitasi oleh BBKSDA Jawa Timur.
Sumber: Fajar Dwi Nur Aji - Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda Balai Besar KSDA Jawa Timur
Berikan rating untuk artikel ini
Average Rating: 4.9